Pura yang biasanya dijuluki Pura Kahyangan Jagat (tempat memuja Hyang Widhi Wasa) pada hari-hari tertentu ramai dikunjungi umat Hindu.
Pura Mandara Giri Semeru Agung salah satu Pura mbak-mbak mejeng di depan Pura Mandara Giri Semeru Agung. Setiap akhir pekan ada saja rombongan yang berkunjung ke pura ini. Kebanyakan pengunjung adalah dari pulau seberang, pulau Bali. Dan acara paling ramai yang diselenggarakan disini adalah pada saat ulang tahun pura (Piodalan).
Awalnya Pura Mandara Giri hanya berada diatas tanah pekarangan seluas 20 x 60 meter. Setelah 3 tahun kemudian, areal tanah berkembang menjadi dua hektar. Sehingga, bangunan pura yang semula nampak sederhana, kini, sudah berkembang megah. Menjaga senyawa bangunan, dan fungsinya, pura ini tak pernah sepi dari aktifitas keagamaan. Bermula dari upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar yang digelar pada Minggu manis, Wuku Menail, 8 Maret 1992.
Akses menuju pura, jalannya sudah cukup baik. Bahkan, mampu mengakomodir rombongan puluhan Bus dari Bali yang datang untuk melakukan peribadatan. Hindu akhirnya berhasil mewujudkan gagasannya untuk mendirikan Pura ini, meskipun diawal hanya bangunan yang sederhana. Beberapa tokoh Hindu di Bali menyambut baik gagasan ini. Karena, umat Hindu Bali pernah mengadakan nuur tirta (pengambilan air suci) di Patirtaan Watu Kelosot, kaki Gunung Semeru, lalu dibawa ke Bali.
Latar Belakang Lokasi
Latar belakang pemilihan lokasi Pura ini di kaki Gunung Semeru berkaitan dengan mite pemindahan puncak Gunung MahamĂšru dari India ke Jawa, sebagaimana dikisahkan dalam naskah Tantu PanggĂȘlaran. Lokasinya berada di tanah yang cukup tinggi sehingga pengunjung harus meniti tangga untuk ke Pura ini.
Struktur dan komponen-komponen arsitekturnya mengikuti gaya arsitektur pura-pura di Bali seperti pada umumnya, yaitu arsitektur trdisional Bali yang masih mengikuti gaya arsitektur zaman kerajaan. Gaya arsitektur ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dengan dasar-dasar filsafat dalam ajaran agama Hindu sendiri. Landasan filosofis arsitektur terteliti dipaparkan dengan latar belakang alam pikiran keagamaan pemangkunya, yaitu agama Hindu, yang visualisasinya tergambarkan pada tata ruang, bentuk bangunan dan bahan bangunan yang digunakan.
Arsitektur pura ini menggunakan arsitektur tradisional Bali yang masih mengikuti gaya arsitektur zaman kerajaan Majapahit.
Di kawasan Pura ini banyak terdapat bangunan pendukung Di antaranya adalah ruangan semacam pendapa atau aula, Bale Gajah itu terdapat ornament beberapa patung gajah, CandiBentar (apit surang), dan candi kurung (gelungkuri). Ada juga, suci sebagai dapur khusus dan bale patandingan.
Untuk di areal ruangan tersebut pengunjung diijinkan masuk dengan memberitahu dan meminta izin terlebih dahulu kepada petugas. Sedangkan untuk Pura Utama, bagi pengunjung yang bukan umat Hindu dan tidak ada keperluan untuk beribadah, pengunjung dilarang untuk memasukinya.
Sumber: Suluh Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar