Makna Nyepi
Banyak
kalangan lain melihat keunikan tersendiri bagi umat Hindu Nusantara
merayakan Tahun Barunya. Umat lain merayakannya dengan kemeriahan, pesta
makan-minum, pakaian baru, dan sebagainya.
Umat Hindu, justru di Tahun Baru Saka
yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistem
kalender Hindu Nusantara, yaitu di saat “Uttarayana” (hari pertama
matahari dari katulistiwa menuju ke garis peredaran di lintang utara),
merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama “Nyepi” artinya membuat
suasana hening:
- Tanpa kegiatan (amati karya)
- Tanpa menyalakan api (amati gni)
- Tidak keluar rumah (amati lelungaan)
- Tanpa hiburan (amati lelanguan)
yang dikenal dengan istilah “Catur Berata Penyepian”.
Di hari itu umat Hindu melakukan tapa,
berata, yoga, samadhi untuk mengadakan koreksi total pada diri sendiri,
serta menilai pelaksanaan trikaya (kayika = perbuatan, wacika =
perkataan, manacika = pikiran) di masa lampau, kemudian merencanakan
trikaya parisudha (trikaya yang suci) di masa depan.
Di hari itu pula umat Hindu mengevaluasi
dirinya, sudah seberapa jauhkah tingkat pendakian rohani yang telah
dicapainya, dan sudahkah masing-masing dari kita mengerti pada hakekat
tujuan hidup di dunia ini.
Dengan amati karya, kita mempunyai waktu
yang cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan samadhi; dalam
suasana amati gni, pikiran akan lebih tercurah pada telusuran kebathinan
yang tinggi; pembatasan gerak bepergian keluar rumah berupa amati
lelungaan dengan mengurung diri di suatu tempat tertentu melakukan tapa,
berata, yoga, samadhi untuk mensucikan pikiran.
Tempat itu bisa di rumah, di Pura atau
di tempat suci lainnya. Tentu saja dalam prosesi itu kita wajib
menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang menyenangkan yang
dinikmati melalui panca indra (amati lelanguan).
Kemampuan mengendalikan panca indra
adalah dasar utama mengendalikan kayika, wacika, dan manacika sehingga
jika sudah terbiasa akan mudah melaksanakan tapa yadnya. Walaupun tidak
dengan tegas dinyatakan dalam susastra, pada hari Nyepi seharusnya kita
melakukan upawasa atau berpuasa menurut kemampuan masing-masing.
Jenis-jenis puasa antara lain: tidak
makan dan minum selama 24 jam, atau siang hari saja, atau bentuk puasa
yang ringan, yaitu hanya memakan nasi putih dengan air kelapa gading
yang muda.
Setelah Nyepi, diharapkan kita sudah
mempunyai nilai tertentu dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana
bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada menutup
kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kualitas beragama.
Demikianlah tahun demi tahun berlalu
sehingga semakin lama kita umat Hindu akan semakin mengerti pada hakekat
kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma,
dan menjauhi hal-hal yang bersifat adharma.
Hari raya Nyepi dan hari-hari raya umat
Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyadaran dharma.
Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari-hari raya itu
semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya, tetapi lebih
banyak pada segi tattwa atau falsafahnya.
Seandainya mayoritas umat Hindu
Nusantara menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam, Siwam,
Sundaram akan dapat tercapai dengan mudah.
Kelemahan tradisi beragama umat Hindu
khususnya yang tinggal di Bali, adalah terlalu banyak berkutat pada
segi-segi ritual (upacara) sehingga segi-segi tattwa dan susila kurang
diperhatikan. Tidak sedikit dari kita merasa sudah beragama hanya dengan
melaksanakan upacara-upacara Panca Yadnya saja.
Salah satu segi tattwa yang kurang
diperhatikan misalnya mewujudkan trihitakarana. Perkataan ini sering
menjadi slogan yang populer, diucapkan oleh berbagai tokoh dengan
gempita tanpa menghayati makna dan aplikasinya yang riil di kehidupan
sehari-hari.
Trihitakarana, tiga hal yang mewujudkan kebaikan, yaitu:
- Keharmonisan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan)
- Keharmonisan hubungan manusia sesama manusia (Pawongan)
- Keharmonisan hubungan manusia dengan alam (Palemahan)
Trihitakarana bertitik sentral pada
manusia, dengan kata lain Trihitakarana bisa terwujud jika manusia
mempunyai tekad yang kuat melaksanakannya. Tekad yang kuat harus
disertai dengan pengertian yang mendalam dan kebersamaan sesama umat
manusia.
Trihitakarana tidak bisa diwujudkan
hanya oleh seorang diri atau sekelompok orang saja. Itu harus dilakukan
bersama-sama oleh semua manusia, bahkan manusia beragama apapun.
Manusia yang pendakian spiritualnya
cukup akan mencintai Tuhan (Hyang Widhi). Cinta kepada sesuatu yang
lebih tinggi dan lebih luas disebut “bhakti”. Ruang lingkup ini
misalnya: bhakti kepada Tuhan, negara, bangsa, rakyat, dll.
Tinjauan khusus tentang bhakti kepada
Hyang Widhi, wujudnya adalah kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya,
yaitu mahluk hidup: manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan; demikian
pula kepada ciptaan-Nya yang lain misalnya alam semesta.
Seseorang yang mengaku sebagai “bhakta”
(orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia menunjukkan bhaktinya itu
kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai ritual saja. Ia juga
harus mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada semua mahluk, khususnya
kepada sesama manusia.
Rasa kasih sayang kepada sesama manusia
hendaknya benar-benar datang dari hati nurani yang bersih dan tulus
tanpa keinginan mendapat balas jasa atau imbalan dalam bentuk apapun.
Filsafat Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah ini.
Masyarakat yang individu-individunya
telah mampu melaksanakan ajaran Agama dengan baik akan mewujudkan
keadaan yang disebut sebagai satyam, siwam, sundaram, yakni masyarakat
yang saling menyayangi sesamanya, kebersamaan yang harmonis dan dinamis,
berkeimanan yang kuat dan sejahtera lahir-batin.
Manusia dalam upayanya mencapai
kehidupan satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat berdiri
sendiri-sendiri. Ia memerlukan berbagai hubungan yang harmonis dengan
manusia lain, atau jelasnya, manusia membutuhkan kelompok tertentu yang
sehaluan dalam pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan
ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan budaya.
Prinsip-prinsip jalinan hubungan yang harmonis itu sebagaimana bunyi slogan:
SAGILIK-SAGULUK SALUNGLUNG SABAYANTAKA, PARAS-PAROS SARPANAYA, SALING ASAH, SALING ASIH, SALING ASUH
Artinya: bersatu-padu menyusun kekuatan
menghadapi ancaman/ bahaya, memutuskan sesuatu secara musyawarah
mufakat, saling mengingatkan, saling menyayangi, dan saling membantu.
Slogan ini bersifat dinamis, dapat
digunakan baik dalam lingkungan kecil seperti rumah tangga, maupun dalam
lingkungan yang lebih besar seperti paguyuban, Banjar, dan Desa, bahkan
dalam lingkungan Nusantara dan Internasional. Untuk lingkungan yang
lebih luas kepentingan yang disatukan biasanya menyangkut ideologi,
antara lain bidang keimanan/ agama dan politik.
Azas-azas kebersamaan sebagai umat Hindu
dapat dikembangkan seluas-luasnya karena akan bermanfaat bagi
peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan. Kebersamaan itu pula dapat
sebagai benteng yang melindungi, mengayomi umat sedharma dari
ancaman-ancaman pihak lain dalam bentuk proselitasi (mempengaruhi orang
yang sudah memeluk Agama tertentu beralih ke Agama lain).
Selain itu azas kebersamaan sangat
bermanfaat bagi umat sedharma untuk bergotong royong menegakkan dharma
dan dalam pendakian spiritual individu, misalnya dalam memerangi sadripu
(enam jenis musuh manusia yang ada pada diri masing-masing), yaitu:
- Kama (nafsu yang tak terkendali)
- Lobha (rakus)
- Kroda (kemarahan)
- Mada (kemabukan)
- Moha (angkuh)
- Matsarya (cemburu, dengki dan iri hati)
Slogan “sagilik-saguluk sabayantaka”
hendaknya tidak dipandang secara sempit sebagai menghadapi musuh
ekstern, tetapi lebih ditujukan kepada memerangi sadripu ini. Mereka
yang berhasil mengendalikan sadripu disebut orang yang “dama” artinya
bijaksana.
Kebijaksanaan adalah hal yang penting
dalam menempuh kehidupan, karena kebijaksanaan dalam arti luas
hakekatnya adalah kemampuan memilah dan menyadari unsur-unsur dharma dan
adharma.
Kebersamaan dalam bentuk paguyuban
berguna sebagai wadah demokrasi karena konsep “paras-paros sarpanaya”
dijalankan. Ini akan membentuk tatanan kehidupan yang moderat di mana
terjadi brainstorming dalam memutuskan sesuatu demi kepentingan bersama.
Sejarah dunia telah membuktikan bahwa
perjuangan dalam bentuk apapun hanya akan berhasil jika dilakukan dengan
kesadaran kebersamaan yang hakiki diantara kelompok pejuang.
Demikian pula hal yang patut dilakukan
oleh umat Hindu dewasa ini, jalinan kebersamaan hendaknya makin
diperluas mencapai tahap nasional dan internasional agar dapat
memberikan manfaat yang tinggi bagi kemajuan umat Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar