SEMBAHYANG, MENGAPA?
Salah satu hakekat inti ajaran agama
adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha
dalam Agama Hindu meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa,
(4) Diksa, (5) Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur
iman di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir (Brahma
dan Yajna) termasuk ajaran sembahyang.
Sembahyang terdiri atas dua kata,
yaitu: (1) Sembah yang berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan
cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati
atau pikiran baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya
sikap pikiran. (2) Hyang berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek
dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang
disebut “muspa” atau “mebhakti” atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam
persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa).
Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri
setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang
artinya mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan
kemampuan dengan perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan,
jajanan, minuman dan lain-lain.
Makna lain dari sembahyang adalah sebagai wujud syukur
atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan
pemberian beliau terlebih dahulu. Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur
(prasadam)” apa yang telah kita haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan
sebagainya.
Apakah terdapat perbedaan
antara sembahyang dan berdoa? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata antara kedua hal tersebut. Sembahyang lebih bersifat
formal, dilakukan di tempat tertentu (tempat yang diyakini suci seperti
berbagai tempat pemujaan), namun berdoa dapat dilakukan kapan saja, di mana
saja dengan bahasa Sanskerta atau bahasa hati. Mengapa kita mesti berdoa,
bukankah dengan sembahyang saja cukup? Jawaban yang pertama adalah kita
berkewajiban untuk setiap saat ingat dan memusatkan perhatian kita kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Kitab suci Bhagavadgìtà secara tegas menyatakan:
Manmanà bhava madbhakto
madyàjì màý namaskuru,
màm evaisyasi satyaý te
pratijàne prìyo'si me.
Bhagavadgìtà XVIII.65.
(Berpikirlah tentang Aku
senantiasa, jadilah penyembah-Ku,
bersembahyang dan berdoa
kepada-Ku, dengan demikian,
pasti engkau datang
kepada-Ku. Aku berjanji demikian
kepadamu, karena engkau Aku
sangat kasihi)
Berdasarkan kutipan wejangan
suci di atas, dapatlah kita pahami bahwa sembahyang dan berdoa mesti senantiasa
kita lakukan karena Tuhan Yang Maha Esa menegaskan bahwa dengan senantiasa
berpikir tentang-Nya, mengingat-Nya, bersembahyang dan berdoa kepada-Nya, Tuhan
Yang Maha Esa akan membukakan pintu hati-Nya dan kita datang kepada-Nya. Alasan
lebih jauh mengapa kita perlu berdoa adalah dalam rangka proses membiasakan
diri (abhyàsa) guna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mendekatkan
diri kepada-Nya dengan membiasakan diri, akan mudah dilakukan bila kita telah
memiliki keikhlasan (tyàga/lascarya) dan tidak terikat terhadap obyek
keduniwian (vairagya), mensyukuri karunia-Nya (santosa) dan keseimbangan lahir
dan batin dalam suka dan duka (sthitàprajña). Dengan membiasakan diri berpikir
tentang-Nya, berdoa kepada-Nya di setiap saat, maka melalui doa kita ini, kita
akan bebas dari segala penderitaan dan pikiran-pikiran negatif yang
menjerumuskan diri kita dan orang lain. Di mana nama-Nya disebutkan, di sana
Tuhan Yang Maha Esa hadir dan menganugrahkan kasih dan kebahagiaan. Demikian
pula memanjatkan doa, mohon keselamatan, kerahayuan dan pengampunan dapat dilaksanakan
kapan saja, di mana saja dan dalam situasi apapun juga.
Manfaat Bersembahyang
Salah satu manfaat sembahyang adalah
untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap
sembahyang seperti asana (padmasana, siddhasana, sukhasana, dan
bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.
Selain untuk kesehatan, bersembahyang
dan berdoa juga mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa yang ada
di dalam diri dan di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan
kita tinggalkan atau berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat
meringankan rasa penderitaan yang kita alami karena kita telah paham benar akan
kehendak Hyang Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya
keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melindungi umatNya.
Perbudakan materi juga dapat diatasi
dengan bersembahyang karena orang akan dapat melihat dengan terang bahwa harta
benda harus dicari dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan
tekun akan dapat menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan
mementingkan diri sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama.
Membenci orang lain sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman
yang ada pada semua makhluk adalah satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang
diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi. Kemudian dengan sembahyang kita
dimotivasi untuk melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan sarana yang
berasal dari alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya.
Persiapan Sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi
persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir seperti pakaian, bunga,
dupa, sikap duduk, pengaturan nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan
bathin adalah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan
sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:
Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan
mandi. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih serta tidak
mengganggu ketenangan pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra (waktu,
tempat dan keadaan).
Bunga dan Kwangen, yaitu lambang
kesucian sehingga diusahakan memakai bunga yang segar, bersih dan harum. Jika
dalam persembahyangan tidak ada kwangen, maka dapat diganti dengan bunga. Kwangen
berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum kita kepada
Hyang Widhi. Kwangen juga menyimbolkan alam bhuana agung, seperti bulan,
matahari dan bintang. Bentuknya yang segitiga menunjukkan apa yang kita mohon
menuju pada diri kita.
Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi
dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi.
Tempat duduk hendaknya tidak menggangu
ketenangan untuk sembahyang dan diusahakan beralaskan tikar dan sebagainya.
Arah duduk adalah menghadap pelinggih.
Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa
Kala Patra dan tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat yaitu padmasana,
siddhasana, sukhasana, dan bajrasana.
Sikap tangan yang baik pada waktu
sembahyang adalah “cakupan kara kalih”, yaitu kedua telapak tangan dikatupkan
diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kwangen dijepit pada ujung jari.
Urutan
Sembahyang
Sebelum kita masuk ke areal Pura
hendaknya “melukat” terlebih dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita,
sebagai simbol menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. Bahwa umat
hendaknya masuk ke Pura melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu
sebelah kanan karena harus sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu
maju.
Sebelum melaksanakan Panca Kramaning Sembah
hendaknya melaksanakan Puja Trisandya. Dalam melakukan Puja Trisandya baik
sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik,
mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang mampu kita
bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut. Kalau kita
melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar
atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.
Setelah melakukan Puja Trisandya, kita
lanjutkan dengan melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang bermakna sebagai
berikut:
Sembah pertama dengan tangan kosong
(puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.
Sembah kedua, ketiga dan keempat
dengan memakai bunga dan atau kwangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat
kepada Tuhan, penyampaian hormat kepada sifat wujud-Nya dalam segala
manifestasi-Nya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonan maaf dan
permohonan anugrah.
Sembah kelima, yaitu sembah tangan
kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmat-Nya
dan mengantarkan kembali ke alam gaib.
Setelah melaksanakan persembahyangan,
umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini dipercikkan 3 kali di
kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan
agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian
hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin.
Kemudian mawija atau mabija
dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu
persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau
air cendana. Bila dapat diusahakan beras galih, yaitu beras yang utuh tidak
patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija
Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an
itu di dalam diri umat.Beberapa mantra (beserta artinya) dapat didownload pada link berikut : klik disini
tulisan sangat bermanfaat, terimakasih...
BalasHapus