BERLINDUNG
PADA SHASTRA
Para
Kawi Wiku sering mengibaratkan dewa pujaannya, Shiwa, halus tak terpikirkan
seperti teka-teki abadi. Sungguh mencengangkan bila kita renungkan, betapa
pencarian panjang seorang kawi akhirnya menemukan Shiwa itu sebagai sebuah
pertanyaan atau teka-teki, yang jawabannya tidak harus sama antara satu
perenungan dengan perenungan Kawi lainnya. Dalam doa pemujaan pada awal sebuah
kakawin sering terbaca doa seorang kawi agar sembah bhaktinya melalui karya
sastra sampai di depan debu kaki dewa pujaannya. Kita boleh menduga barangkali
doa mereka benar-benar sampai di depan debu kaki Pujaannya. Dan apa yang mereka
kemudian dapatkan di depan debu kaki itu? Ternyata, sebuah teka-teki yang
rumusannya mungkin seperti ini: ia yang tidak bisa dipikirkan (acintya) tapi
karenaNya pikiran bisa berpikir.
Penemuan
teka-teki abadi itu tentu saja tidak terjadi tiba-tiba atau mendadak.
Maksudnya, sudah pasti ada banyak teka-teki lain di jagat ciptaanNya yang
menggiring para Kawi sehingga akhirnya sampai pada teka-teki tentang
penciptanya.
Memang
seperti itulah konon rute perjalanan wisata
batin mereka, dari misteri ciptaannya menuju misteri penciptanya. Dan
seperti yang dapat direnungkan dari karya-karya para Kawi itu, kita sangat
diyakinkan bahwa bukan jawaban teka-teki itu yang akhirnya menjadi penting,
tapi ketika batin telah sampai pada
teka-teki itu sendiri. Itulah misteri dari apa yang disebut sampai. Begitu sampai, tidak ada lagi
tujuan, tidak lagi ada siapa yang mencari dan siapa yang dicari, tidak ada lagi
pertanyaan dan jawaban, yang bertanya hilang dan jawabannya tidak ada. Itulah
yang dinamakan Teka-Teki oleh para Kawi: Shiwa yang berbadankan Teka-Teki!
Selain
dalam cerita, teka-teki Shastra juga ada dalam Tattwa. Misalnya teka-teki yang
bunyinya seperti berikut ini. Kalau banjir berlindung ke Tanah Tinggi, kalau
gempa berlindung ke Tanah Lapang, kalau angin ribut berlindung ke dalam gua,
dan kalau batin kosong jiwa cemas pikiran kacau ke mana berlindung? Jawabannya,
konon: berlindunglah ke Shastra. Bagaimana mungkin shastra bisa menjadi
pelindung saat batin kacau-balau? Seperti penjelasan di atas, bukan jawaban itu
yang penting, tapi bagaimana sampai pada shastra itu sendiri. Banyak orang yang
puluhan tahun mempelajari shastra, tapi kenyataannya mereka tidak pernah sampai
pada shastra. Karena shastra sejatinya bukan buku, bukan lontar. Shastra juga
bukan huruf, bukan tulisan. Juga bukan bacaan, bukan teks, bukan wacana. Tapi
shastra itu apa? Itulah soalnya. Hanya orang yang sudah sampai pada shastra
tahu apa itu shastra. Logikanya, kurang lebih sama dengan apa itu asin. Hanya
orang yang sudah makan garam tahu bagaimana rasa asin itu. Yang belum pernah
makan garam tidak akan tahu seperti apa sebenarnya rasa asin itu. Ironisnya,
orang yang sudah makan garam ternyata juga tidak akan bisa menjelaskan apa asin
itu kepada orang yang belum makan garam. Shastra kurang lebih seperti itu. Maka
diajarkan oleh para “mpu shastra” kata kunci seperti taki-taki dan utsaha,
yang maksudnya agar orang berusaha terus pantang putus asa. Seperti tetes air
melubangi batu, seperti udara dalam bambu menanti ada celah retakan yang akan
menghubungkannya dengan udara di luar bambu.
Bagi
orang yang bersungguh-sungguh, perjalanan menuju Shastra walaupun amat berat,
akan dirasakannya seperti wisata batin. Karena pada setiap langkah ada
keindahan baru yang memberi energi baru. Dan memang perjalanan menuju Shastra
disebut mangasraya yang berarti
perjalanan mencari perlindungan batin. Dan seperti disebutkan di atas, hanya
bila telah sampai pada Shastra orang akan tahu macam apa perlindungan yang
dijanjikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar