Ri hěněng ikanang amběk tibrālit mahěning
ahö/
Lěngit atisaya sunya jñana naśraya ya
wěkasan/
Swayéng umiběki tan ring rat mwang déha
tuduhana/
Ri pangawakira sanghyang tattwadhyatmika
katěmu// (Nirartaprakerta)
(Ketika hati telah heneng, hening, halus
dan cemerlang/ kemudian menyusup ke alam sunya, alam yang sempurna/ fikiran
lalu bagaikan telah meliputi seluruh alam namun tidak diketahui dari mana
datangnya/ orang yang telah mencapai tingkat itu adalah orang yang telah
menemui hakikat kerohanian yang tertinggi).
Hari raya nyepi datang setahun sekali,
yaitu pada Pananggal 1 Sasih Waiśaka sehari setelah Tilem Caitra.
Hari ini dijadikan sebagai “Tahun Baru Śaka” ditandai dengan pelaksanaan “Brata
Penyepian”. Dengan demikian hari raya Nyepi tidak sekedar pergantian Tahun
Śaka, tetapi benar-benar dilandasi oleh nilai-spiritual. Wawasan kesemestaan
dengan melihat posisi Surya dan Candra, renungan tentang ruang
dan waktu sebagaimana tertuang dalam pelaksanaan bhuta yajña
(persembahan kepada Bhuta dan Kala, pelaksanaan ajaran yoga
dengan melaksanakan yama dan niyama brata membangun visi
dan spirit untuk menghadapi masa datang. Terlebih lagi sepi atau sunya
adalah sebuah kata kunci dalam ajaran agama Hindu yang mengandung makna
kesempurnaan (purna).
Oleh karena itu Nyepi senantiasa
menyajikan bahan renungan kepada kita, lebih lanjut mendorong kita untuk lebih
mendalami ajaran agama Hindu.
Istilah sunya dan nirbana
adalah istilah kunci untuk memahami Śiwa-Buddha Tattwa. Masyarakat
mengetahui bahwa masing masing istilah tersebut adalah khas milik agama
masing-masing, yaitu Sunya untuk Śiwa dan Nirbana
(nirwana) untuk Budha.
Lontar Bhuana Sangksepa ada menyuratkan tentang Paramatattwa
(kebenaran yang tertinggi) dalam agama Śiwa, yang disebut juga sebagai Sunyata
atau Moksa, artinya tingkat dimana telah terjadi pembebasan dari segala
ikatan, meniadakan semua bentuk paham: (na bhumir na jalam vyapih na tejo na
ca marutah; na surya candra sarvepi nākasam nāntaram bhavet; na buddhih
nāhamkarah na visnuh na brahma na iswaram; na niste na madyôttamah na miwa
dewata punah). Sangat menarik perhatian kita pada tingkat ini Tri Murti
tidak ada lagi. Hal ini dapat dipahami karena Tri Murti adalah aspek
dari Parama Siwa dan semuanya telah kembali pada Parama-tattwa.
Pada tingkat Parama Tattwa inilah terjadi kemanunggalan antara Śiwa dan
Budha atau Śiwa Budha adalah “kebenaran yang Tunggal” .
Dalam hal ini kita memahami mengapa lontar
Bhuwana Kosa menerangkan suatu keadaan Sunya-Nirbana yang
dianggap sebagai moksa, disebut sebagai Śiwa. Jadi Sunya-Nirbana
adalah suatu keadaan “persatuan” dengan Śiwa: .... hana ta pada sunya ya
sinangguh sunya ya sinangguh kamoksan, nga, wisesa ya, ya Śiwa ngaranya;
sunyaśca nirbhanadhikasciwanggatwe,...
Dalam uraian di atas telah jelas bagi
kita, bahwa Sunya dan Nirwana adalah sama. Dalam kitab-kitab
Budhis, nirwana mempunyai makna suatu keadaan “Santa”, sementara
itu Bhuwana Kosa sebuah lontar yang bercorak Śiwa menyebutkan bahwa
keadaan yang tertinggi juga disebut “Param brahma Mahasuksma Santa
Parinirmala”.
Dalam hal ini menarik untuk dicatat
Pernyataan Mpu Tantular dalam karyanya Kakawin Sutasoma yang bercorak
Buddha. Beliau menulis: “Sunyakara diwangga nirmala siran nirbana
nirlaksana”. Disini kata sunya dan nirbana dideretkan dalam
menjelaskan makna ajaran tersebut. Sebelumnya Empu Tantular ada menulis: nirbana
ya rinĕgĕp iran mantukéng Budha loka (nirbana itulah yang dipikirkan untuk
kembali ke alam Budha).
Pemakaian istilah Sunya maupun Nirbana
oleh seorang wiku seperti itu tentulah bukan kekacauan istilah, namun sang wiku
benar-benar memahami makna istilah tersebut. Hal ini tampak juga dalam tradisi
sastra kidung, sebagaimana disuratkan oleh Ida Pedanda Nyoman Pidada penggubah Kidung
Tantri Nandaka Harana. Dalam karya sastra yang ditulis pada awal abad ke 18
ini ada disuratkan: parok ning parama pinuh ring nirbana sunya kang ginung.
Sementara itu dalam Kidung Tantri Manduka Prakarana ada disuratkan: paramārta
nirbana sunya niscala śiwajati.
Demikianlah pada tingkat tertentu istilah sunya
maupun nirbana tidak lagi menjadi ciri khas agama Śiwa maupun Budha.
Kedua istilah penuh makna itu dipakai bergantian, atau dipakai bersamaan oleh
para Wiku. Sangat menarik pula apa yang tersurat dalam Bhagawad Gita V.24-25.
Dalam kitab ini tersurat adanya istilah Brahma-Nirwana.
“Yo'ntah sukho 'ntar-ārāmas, tathāntar jyotir
eva yah,
sa yogï brahma-nirvānam, brahma bhûto
'dhigacchati”.
(dia yang menemui kebahagiaan pada
dirinya, dan tentram pada dirinya, cahaya ada pada dirinya, hanya yogi semacam
ini yang menjadi suci, mencapai nirwana bersatu dengan Brahman).
“Labhante brahma-nirvānam, ŗşayah kşiņa
kalmaşāh
chinna dvaidhā yatātmānah, sarva bhüta
hite ratāh”
(Orang suci yang dosanya telah
dimusnahkan, keragu-raguannya dihapus, pikirannya dipusatkan, kebahagiaannya
berbuat kebajikan bagi mahluk semua dia akan mencapai nirwana bersatu dengan
Brahman).
Brahma nirwana sebagaimana disuratkan di atas adalah sesuatu
yang dicita-citakan oleh para resi atau yogi, sesuatu yang dapat dicapai oleh
para yogi setelah melakukan proses penyucian diri, proses yoga.
Dalam Kakawin Dharma Sunya
disuratkan bagaimana seorang Wiku yang telah mencapai tingkat itu:
ambĕk sang wiku siddha tan pahingan
tumutuga ri kamurtining taya/
tan linggar humĕnĕng licin mamĕpĕking
bhuwana sahananing jagatraya/
norānglor kiduling kidul tělasana sira
juga paměkas niraśraya/
kěwat kéwala sunya nirbhana lěngöng luput
inangěn-angěn winarnaya//
(Bathin seorang wiku yang telah mencapai
tingkat kesempurnaan tidak terbatas, telah sampai pada wujud ketiadaan/ tidak
goyah, diam, halus, memenuhi segala isi ketiga dunia/tidak utara, selatannya
selatan telah habis, beliau adalah hakekat kebebasan/ hanya yang satu, yaitu
sunya nirbana yang indah yang bebas dari pikiran, yang tak terkatakan).
Sunya nirbana adalah hakikat tujuan yang ingin dicapai oleh
penganut Śiwa maupun Budha. Karena Sunya Nirbana adalah
satu, disinilah makna sesungguhnya dari ucapan Jinatwa kalawan Siwatwa
tunggal.
Nyepi Pemujaan Bhutapati Menciptakan
Bhuta-hita
Sudah kita catatkan di atas bahwa upacara
yang sangat penting diadakan dalam rangka menyambut hari raya nyepi adalah Bhuta
Yajña. Upacara ini dilaksanakan pada Tilem Caitra, ketika bumi bulan
dan matahari dalam satu garis lurus atau surya dalam posisi tegak
ditengah-tengah (wiswayana).
Bhuta yajña adalah persembahan kepada Bhuta.
Ada lima unsur bhuta sebagai perwujudan dari Acetana mendapat
perhatian penting dalam pemikiran Hindu. Alam semesta (bhuwana agung)
dan juga diri manusia sendiri (bhuwana alit) dibentuk dari lima unsur
yang disebut Panca Maha Bhuta, terdiri atas Prthiwi (unsur
padat), apah (unsur air), teja (unsur api), bayu (unsur
angin), dan akasa (ether). Panca Maha Bhuta dibentuk oleh
unsur-unsur sangat halus yaitu Panca Tan Matra, terdiri atas gandha
(unsur bau), rasa (rasa), sparsa (sinar), rupa (rupa) dan sabda
(suara). Semua unsur tersebut berstruktur, bersistem dan harmoni. Namun dalam
perjalanan waktu, termasuk karena tindakan dan perbuatan manusia, unsur-unsur
tersebut boleh jadi disharmoni. Oleh karena itu dalam setiap kurun waktu
tertentu diadakan upacara mengharmoniskan unsur-unsur yang membangun alam
semesta, diadakan upacara Bhuta Yajña. Harapan yang ingin dicapai adalah
Bhuta Hita atau Jagad Hita, Sarwaprani Hita, keharmonisan
yang akan memberikan kerahayuan hidup bagi manusia dan mahluk lainnya.
Bhuta yajña diadakan pada tempat dan waktu
terpilih (pangala desa, subha diwasa). Penyelenggaraannya dilakukan di
sebuah tempat yang secara simbolis dianggap sebagai madhyanikang bhuwana
(tengahnya dunia), di sebuah natar (lebuh, pempatan) dimana prthiwi
(bumi, tanah) akasa (langit) bertemu.
Manusia yang hidup diantara Bhuta
dan Dewa, dengan melaksanakan Bhuta Yajña diharapkan menyadari
dirinya yang pada hakekatnya cahaya Tuhan yang berasal dan akan kembali kepada
Sang Maha Cahaya. Bukan sebaliknya jatuh dalam kegelapan (bhuta). Tetapi Bhuta
perlu dijaga keharmonisannya (somhya) dengan berbagai upaya sebagaimana
diajarkan dalam ajaran agama.
Bhuta Yajña juga diselenggarakan karena
manusia menjadikan bhuta juga tan matra sebagai objek indrianya.
Obyek indria diupayakan dalam keadaan bhuta-hita, dengan demikian
kerahayuan hidup akan dapat dicapai.
Setelah Bhuta menjadi somya,
maka Hyang Bhutapati yang juga adalah Hyang Pasupati, Hyang Jagatpati
disthanakan lalu dipuja. Dengan demikian pelaksanaan Bhuta Yajña
pada hakikatnya adalah juga untuk memuja Hyang Siwa, yang didahului
dengan proses penyucian bhuwana.
Uraian ringkas di atas diharapkan telah
dapat memberikan gambaran bahwa sesungguhnya perayaan hari raya nyepi dengan
segala prosesnya pada hakikatnya adalah pemujaan kepada Hyang Siwa. Bhuta
yajña yang dilaksanakan pada Tilem Caitra, ketika bhumi, bulan dan
matahari dalam posisi wiswayana adalah upacara untuk mencapai bhuta-hita,
selanjutnya memuja Hyang Siwa (Wiswa), beliau disebut juga Bhutapati.
Pada hari raya nyepi umat Hindu diharapkan dapat memasuki alam sunya-nirbana,
alam yang tertinggi, alam yang heneng dan hening. Keesokan
harinya adalah Ngembak Gni, yang secara spiritual menghidupkan kembali
api suci dalam diri untuk terus menerus membakar kekotoran pikiran (mala), yang
pada akhirnya diharapkan tercapainya kesucian pikiran (nirmala), karena pada
pikiran yang suci itulah diyakini Hyang Siwa bersthana.
Om Namah Siwaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar