Kamis, 19 Februari 2015

Makna Nyepi

Makna Nyepi 

Banyak kalangan lain melihat keunikan tersendiri bagi umat Hindu Nusantara merayakan Tahun Barunya. Umat lain merayakannya dengan kemeriahan, pesta makan-minum, pakaian baru, dan sebagainya.
Umat Hindu, justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistem kalender Hindu Nusantara, yaitu di saat “Uttarayana” (hari pertama matahari dari katulistiwa menuju ke garis peredaran di lintang utara), merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama “Nyepi” artinya membuat suasana hening:
  1. Tanpa kegiatan (amati karya)
  2. Tanpa menyalakan api (amati gni)
  3. Tidak keluar rumah (amati lelungaan)
  4. Tanpa hiburan (amati lelanguan)
yang dikenal dengan istilah “Catur Berata Penyepian”.
Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk mengadakan koreksi total pada diri sendiri, serta menilai pelaksanaan trikaya (kayika = perbuatan, wacika = perkataan, manacika = pikiran) di masa lampau, kemudian merencanakan trikaya parisudha (trikaya yang suci) di masa depan.
Di hari itu pula umat Hindu mengevaluasi dirinya, sudah seberapa jauhkah tingkat pendakian rohani yang telah dicapainya, dan sudahkah masing-masing dari kita mengerti pada hakekat tujuan hidup di dunia ini.
Dengan amati karya, kita mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan samadhi; dalam suasana amati gni, pikiran akan lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi; pembatasan gerak bepergian keluar rumah berupa amati lelungaan dengan mengurung diri di suatu tempat tertentu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk mensucikan pikiran.
Tempat itu bisa di rumah, di Pura atau di tempat suci lainnya. Tentu saja dalam prosesi itu kita wajib menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang menyenangkan yang dinikmati melalui panca indra (amati lelanguan).
Kemampuan mengendalikan panca indra adalah dasar utama mengendalikan kayika, wacika, dan manacika sehingga jika sudah terbiasa akan mudah melaksanakan tapa yadnya. Walaupun tidak dengan tegas dinyatakan dalam susastra, pada hari Nyepi seharusnya kita melakukan upawasa atau berpuasa menurut kemampuan masing-masing.
Jenis-jenis puasa antara lain: tidak makan dan minum selama 24 jam, atau siang hari saja, atau bentuk puasa yang ringan, yaitu hanya memakan nasi putih dengan air kelapa gading yang muda.
Setelah Nyepi, diharapkan kita sudah mempunyai nilai tertentu dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada menutup kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kualitas beragama.
Demikianlah tahun demi tahun berlalu sehingga semakin lama kita umat Hindu akan semakin mengerti pada hakekat kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, dan menjauhi hal-hal yang bersifat adharma.
Hari raya Nyepi dan hari-hari raya umat Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyadaran dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari-hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya, tetapi lebih banyak pada segi tattwa atau falsafahnya.
Seandainya mayoritas umat Hindu Nusantara menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam, Siwam, Sundaram akan dapat tercapai dengan mudah.
Kelemahan tradisi beragama umat Hindu khususnya yang tinggal di Bali, adalah terlalu banyak berkutat pada segi-segi ritual (upacara) sehingga segi-segi tattwa dan susila kurang diperhatikan. Tidak sedikit dari kita merasa sudah beragama hanya dengan melaksanakan upacara-upacara Panca Yadnya saja.
Salah satu segi tattwa yang kurang diperhatikan misalnya mewujudkan trihitakarana. Perkataan ini sering menjadi slogan yang populer, diucapkan oleh berbagai tokoh dengan gempita tanpa menghayati makna dan aplikasinya yang riil di kehidupan sehari-hari.
Trihitakarana, tiga hal yang mewujudkan kebaikan, yaitu:
  1. Keharmonisan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan)
  2. Keharmonisan hubungan manusia sesama manusia (Pawongan)
  3. Keharmonisan hubungan manusia dengan alam (Palemahan)
Trihitakarana bertitik sentral pada manusia, dengan kata lain Trihitakarana bisa terwujud jika manusia mempunyai tekad yang kuat melaksanakannya. Tekad yang kuat harus disertai dengan pengertian yang mendalam dan kebersamaan sesama umat manusia.
Trihitakarana tidak bisa diwujudkan hanya oleh seorang diri atau sekelompok orang saja. Itu harus dilakukan bersama-sama oleh semua manusia, bahkan manusia beragama apapun.
Manusia yang pendakian spiritualnya cukup akan mencintai Tuhan (Hyang Widhi). Cinta kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luas disebut “bhakti”. Ruang lingkup ini misalnya: bhakti kepada Tuhan, negara, bangsa, rakyat, dll.
Tinjauan khusus tentang bhakti kepada Hyang Widhi, wujudnya adalah kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya, yaitu mahluk hidup: manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan; demikian pula kepada ciptaan-Nya yang lain misalnya alam semesta.
Seseorang yang mengaku sebagai “bhakta” (orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia menunjukkan bhaktinya itu kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai ritual saja. Ia juga harus mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada semua mahluk, khususnya kepada sesama manusia.
Rasa kasih sayang kepada sesama manusia hendaknya benar-benar datang dari hati nurani yang bersih dan tulus tanpa keinginan mendapat balas jasa atau imbalan dalam bentuk apapun. Filsafat Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah ini.
Masyarakat yang individu-individunya telah mampu melaksanakan ajaran Agama dengan baik akan mewujudkan keadaan yang disebut sebagai satyam, siwam, sundaram, yakni masyarakat yang saling menyayangi sesamanya, kebersamaan yang harmonis dan dinamis, berkeimanan yang kuat dan sejahtera lahir-batin.
Manusia dalam upayanya mencapai kehidupan satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Ia memerlukan berbagai hubungan yang harmonis dengan manusia lain, atau jelasnya, manusia membutuhkan kelompok tertentu yang sehaluan dalam pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan budaya.
Prinsip-prinsip jalinan hubungan yang harmonis itu sebagaimana bunyi slogan:
SAGILIK-SAGULUK SALUNGLUNG SABAYANTAKA, PARAS-PAROS SARPANAYA, SALING ASAH, SALING ASIH, SALING ASUH
Artinya: bersatu-padu menyusun kekuatan menghadapi ancaman/ bahaya, memutuskan sesuatu secara musyawarah mufakat, saling mengingatkan, saling menyayangi, dan saling membantu.
Slogan ini bersifat dinamis, dapat digunakan baik dalam lingkungan kecil seperti rumah tangga, maupun dalam lingkungan yang lebih besar seperti paguyuban, Banjar, dan Desa, bahkan dalam lingkungan Nusantara dan Internasional. Untuk lingkungan yang lebih luas kepentingan yang disatukan biasanya menyangkut ideologi, antara lain bidang keimanan/ agama dan politik.
Azas-azas kebersamaan sebagai umat Hindu dapat dikembangkan seluas-luasnya karena akan bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan. Kebersamaan itu pula dapat sebagai benteng yang melindungi, mengayomi umat sedharma dari ancaman-ancaman pihak lain dalam bentuk proselitasi (mempengaruhi orang yang sudah memeluk Agama tertentu beralih ke Agama lain).
Selain itu azas kebersamaan sangat bermanfaat bagi umat sedharma untuk bergotong royong menegakkan dharma dan dalam pendakian spiritual individu, misalnya dalam memerangi sadripu (enam jenis musuh manusia yang ada pada diri masing-masing), yaitu:
  1. Kama (nafsu yang tak terkendali)
  2. Lobha (rakus)
  3. Kroda (kemarahan)
  4. Mada (kemabukan)
  5. Moha (angkuh)
  6. Matsarya (cemburu, dengki dan iri hati)
Slogan “sagilik-saguluk sabayantaka” hendaknya tidak dipandang secara sempit sebagai menghadapi musuh ekstern, tetapi lebih ditujukan kepada memerangi sadripu ini. Mereka yang berhasil mengendalikan sadripu disebut orang yang “dama” artinya bijaksana.
Kebijaksanaan adalah hal yang penting dalam menempuh kehidupan, karena kebijaksanaan dalam arti luas hakekatnya adalah kemampuan memilah dan menyadari unsur-unsur dharma dan adharma.
Kebersamaan dalam bentuk paguyuban berguna sebagai wadah demokrasi karena konsep “paras-paros sarpanaya” dijalankan. Ini akan membentuk tatanan kehidupan yang moderat di mana terjadi brainstorming dalam memutuskan sesuatu demi kepentingan bersama.
Sejarah dunia telah membuktikan bahwa perjuangan dalam bentuk apapun hanya akan berhasil jika dilakukan dengan kesadaran kebersamaan yang hakiki diantara kelompok pejuang.
Demikian pula hal yang patut dilakukan oleh umat Hindu dewasa ini, jalinan kebersamaan hendaknya makin diperluas mencapai tahap nasional dan internasional agar dapat memberikan manfaat yang tinggi bagi kemajuan umat Hindu.