Kegiatan Seminar Bahasa dan Sastra Hindu pada Pendidikan
Pasraman Tingkat Tinggi yang diselenggarakan oleh Bimas Hindu Kementerian Agama
Provinsi Jawa Timur bertenpat di kampus STAH Santika Dharma Malang dihadiri
oleh Civika Akademika dan Tokoh sejatim sejumlah 100 orang peserta.
Kegiatan
diawali dengan Do’a bersama yang di pimpin oleh Mangku Gde Sumertha. Sebelum
kegiatan, ketua panitia Kudari, S.Ag menyampaikan laporan tentang maksud dan
tujuan serta latar belakang diselenggarakannya Kegiatan Seminar
Bahasa dan Sastra Hindu pada Pendidikan Pasraman Tingkat Tinggi,
Setelah
laporan di lanjutkan dengan sambutan Ketua PHDI Provinsi Jawa Timur sekaligus
menjabat sebagai Ketua STAH Santika Dhatma Malang Drs. I Ketut Sudiarta M.Pd.H pada
sambutannya Ketua STAH Santika Dharma Malang mengapresiasi dan mendukung atas
terselanggaranya kegiatan Seminar Bahasa dan Sastra Hindu pada Pendidikan
Pasraman Tingkat Tinggi. Selanjutnya Dosen dan Mahasiswa perlu mengenal lebih
jauh tentang Bahasa dan sastra Hindu yang merupakan salah satu mata kuliah yang
ada di STAH Santika Dharma Malang. Sudiarta juga mengatakan nantinya STAH Santika Dharma
Malang akan membuka jurusan Bahasa dan Sastra Hindu.
Setelah
acara pembukaan oleh ketua PHDI Jatim dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh
tiga orang narasumber yang diambil dari kalangan birokrasi, akademisi dan tokoh
pemerhati Jawa Kuna. Di kalangan birokrasi Ida Made Windya S.Ag dengan materi “Kajian
Historis Perkembangan Bahasa & Kesusastraan Hindu (Jawa Kuna) di Indonesia”.
Yang merupakan sastra yang sangat tua dengan peninggalan peninggalannya berupa
teks Parwa, Kakawin, Tutur, dll. Prasasti yang mengunakan Bahasa Jawa Kuna yang
terua yaitu prasasti Sukabumi/Harinjing (726 Saka) di Desa Siman Kecamatan
Kepung Kediri yang tertanggal 25 Maret 804 yang dianggap sebagai tonggak
sejarah mengawali Bahasa Jawa Kuna. Beberapa tonggak penting lintasan sejarah
Bahasa Jawa Kuna di Indonesia diantaranya adalah Jaman Sindok yang memerintah
antara tahun 929-947 ditulis Kitab Sanghyang Kamahayanika pada masa itu. Jaman
Dharmawangsa Teguh pada abad ke-10 raja
menjadi pelindung proyek besar “Mangjawekan Byasamata” , bhagawan Byasa
merupakan pengarang Astadasaparwa. Jadi pada jaman ini sudah dilakukan kegiatan
membahasajawakan ajaran-ajaran Walmiki. Utarakanda sebagai kanda ke tujuh
Ramayana ditulis pada masa itu berkat perhatian besar raja Dharmawangsa
terhadap sastra-sastra yang mengandung ajaran Hindu. Kemudian Raja Erlangga
menggantikan Dharmawangsa dan Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa dikarang pada masa
itu. Jaman Kediri abad ke 11 dan 12 menghasilkan sejumlah karya sastra
diantaranya Bharatayuddha yang ditulis oleh Empu Sedah Dan Empu Panuluh,
Hariwangsa Dan Gatotkacasraya karya Empu Panuluh, Samarandhana karya Empu
Dharmaja, Sumanasantaka karya Empu Triguna. Jaman Majapahit merupakan kerajaan
besar dan banyak menghasilkan karya Sastra Jawa Kuna. Kegiatan bersastra pada
jaman itu adalah kegiatan kebudayaan dan keagamaan terpenting yang sangat
mendapat perhatian raja dan seluruh masyarakat. Setelah zaman Majapahit
kehadiran Pulau Bali menjadi sangat penting dalam kesusastraan Hindu (Jawa
Kuna). Bali merupakan penyelamat naskah-naskah Jawa Kuna setelah runtuhnya
Kerajaan Majapahit. Puncak perkembangan kesusastraan jawa kuna di Bali terjadi
pada zaman Gelgel (Abad ke 16) yang terkenal adalah karya Danghyang Niratha
yang menghasilkan banyak karya, setelah itu pengarang-pegarang Bali
bermunculan.
Pemaparan
berikutnya disampaikan oleh tokoh pemerhati Jawa Kuna I Ketut Sudira, BA dengan
materi “ Aksara Kaganga adalah Aksara Jawa Kawi ” di sebuah Desa Dinoyo yang
berada dibarat laut Kota Malang ditemukan prasasti bertarih 682 saka atau 760 M
memakai Aksara Kawi Berbahasa Sanskerta. Prasasti tersebut menceritakan sebuah
kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan. Penemuan prasasti ini menjadi tonggak
lahirnya Aksara Jawa Kuna. Aksara tersebut terus digunakan selama kerajaan
Hindu masih tegak di Pulau Jawa sampai akhirnya runtuh pada abad ke 16.
Bersamaan dengan itu lahirlah aksara jawa baru yang dipengaruhi oleh Bahasa
Arab bahasa Agama Islam yang muncul kemudian. Aksara jawa baru dikenalkan
melalui serat ajisaka pada abas 17 dengan nama aksara Hanacaraka. Meskipun saat
ini agama hindu mulai lahir, namun aksara jawa kun cenderung ditinggalkan. Dan
sedapat mungkin harus dibangkitkan kembali, dan harus ada usaha-usaha untuk
itu. Aksara kaganga/kawi turunan dari aksara Dewanagari. Aksara Dewanagari
berjumlah 49, sedangkan aksara Kaganga berjumlah 49. Perbedaannya terletak pada
aksara swara “Lo” yang dibaca “Lee” dirgha. Pasang aksara Purwa-drestha
merupakan aturan penulisan bahasa jawa kuna dengan aksara Kaganga yaitu :
Pasang Tegak,Pasang Pageh, pasang Jajar, Pasang Jajar Palas, aturan pemakaian
cecak, Aturan pemakaian layar, aturan pasang aksara dwita. Bertuk aksara
kaganga ada beberapa berbtuk yang disebut gagrak.
Pemaparan
yang terakhir dari kalangan akademisi Miswanto, S.Ag M.Pd.H dengan materi
“Meretas Kembali Pentradisian Sastra Jawa Kuna Dalam Masyarakat Hindu Di Era
Modern” agama Hindu adalah agama yang mengajarkan Kebenaran Abadi dan Weda
merupakan sumber Kebenaran Abadi. Tanpa sundaram
(keindahan/seni), satyam (kebenaran),
siwam (kesucian) akan gersang. Maka
dari itu seni, kebenaran dan agama sangat berkaitan. Seni mampu memengaruhi
perkembangan kepribadian seseorang. Pada zaman Jawa kuna hingga zaman Jawa
Modern banyak seni yang bisa dimanfaatkan dalam media pendidikan dalam
pembentukan karakter anak. Kesusastraan jawa melahirkan banyak cerita yang
mengandung makna kehidupan. Diantaranya cerita mahabarata dan Ramayana. Bahasa
jawa kuna masih ada hingga saat ini meskipun sudah tidak digunakan dalam bahasa
sehari-hari. Pasca kemunduran Majapahit, Bahasa jawa Kuna mengalami kemunduran
yang cukup kritis. Pada kurun waktu runtuhnya Majapahit dilakukan usaha-usaha
untuk mengawetkan dilakukan. Di Bali Sastra Jawa Kuna dibaca, dipelajari,
ditulis dan kemudian dilestarikan melalui kegiatan-kegiatan sosio cultural yang
hingga kini terpelihara dengan baik. Meretas kembali tradisi lisan dalam
kesusastraan jawa kuna melalui Lembaga Pengembangan Dharma Gita siaeluruh
Indonesia. Namun selalama ini LPDG dengan kegiatannya Utsawa Dharma Gita UDG
hanya mengutamakan keindahan suara, tanpa memperhatikan Ruh sastra Hindu
(termasuk aksara jawa kuna didalamnya). Maka dari itu diharapkan Sastra dan
Bahasa Jawa Kuna dapat dibangkitkan kembali, sehingga dalam perlombaannya
peserta dapat membaca teks tidak dalam tulisan latin, tetapi dalam tulisan Jawa
Kuna. Membaca Aksara sebagaimana membaca mantra harus dengar cara yang benar.
Unsure Estetika dalam Kesusastraan Jawa Kuna, terdapat pada cara pembacaan dan
guru lagunya agar sastra-sastra tersebut mampu dinyanyika dengan baik.
Digitalisasi dalam penulisan sanskerta, seiring perkembangan zaman pemanfaatan
teknologi sangan berperan penting dalam penulisan Aksara Jawa Kuna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar