Senin, 24 Agustus 2015

Kegiatan Seminar Bahasa dan Sastra Hindu pada Pendidikan Pasraman Tingkat Tinggi


Malang 22 Agustus 2015
Kegiatan Seminar Bahasa dan Sastra Hindu pada Pendidikan Pasraman Tingkat Tinggi yang diselenggarakan oleh Bimas Hindu Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur bertenpat di kampus STAH Santika Dharma Malang dihadiri oleh Civika Akademika dan Tokoh sejatim sejumlah 100 orang peserta.
Kegiatan diawali dengan Do’a bersama yang di pimpin oleh Mangku Gde Sumertha. Sebelum kegiatan, ketua panitia Kudari, S.Ag menyampaikan laporan tentang maksud dan tujuan serta latar belakang diselenggarakannya Kegiatan Seminar Bahasa dan Sastra Hindu pada Pendidikan Pasraman Tingkat Tinggi,
Setelah laporan di lanjutkan dengan sambutan Ketua PHDI Provinsi Jawa Timur sekaligus menjabat sebagai Ketua STAH Santika Dhatma Malang Drs. I Ketut Sudiarta M.Pd.H pada sambutannya Ketua STAH Santika Dharma Malang mengapresiasi dan mendukung atas terselanggaranya kegiatan Seminar Bahasa dan Sastra Hindu pada Pendidikan Pasraman Tingkat Tinggi. Selanjutnya Dosen dan Mahasiswa perlu mengenal lebih jauh tentang Bahasa dan sastra Hindu yang merupakan salah satu mata kuliah yang ada di STAH Santika Dharma Malang. Sudiarta  juga mengatakan nantinya STAH Santika Dharma Malang akan membuka jurusan Bahasa dan Sastra Hindu.
Setelah acara pembukaan oleh ketua PHDI Jatim dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh tiga orang narasumber yang diambil dari kalangan birokrasi, akademisi dan tokoh pemerhati Jawa Kuna. Di kalangan birokrasi Ida Made Windya S.Ag dengan materi “Kajian Historis Perkembangan Bahasa & Kesusastraan Hindu (Jawa Kuna) di Indonesia”. Yang merupakan sastra yang sangat tua dengan peninggalan peninggalannya berupa teks Parwa, Kakawin, Tutur, dll. Prasasti yang mengunakan Bahasa Jawa Kuna yang terua yaitu prasasti Sukabumi/Harinjing (726 Saka) di Desa Siman Kecamatan Kepung Kediri yang tertanggal 25 Maret 804 yang dianggap sebagai tonggak sejarah mengawali Bahasa Jawa Kuna. Beberapa tonggak penting lintasan sejarah Bahasa Jawa Kuna di Indonesia diantaranya adalah Jaman Sindok yang memerintah antara tahun 929-947 ditulis Kitab Sanghyang Kamahayanika pada masa itu. Jaman Dharmawangsa Teguh  pada abad ke-10 raja menjadi pelindung proyek besar “Mangjawekan Byasamata” , bhagawan Byasa merupakan pengarang Astadasaparwa. Jadi pada jaman ini sudah dilakukan kegiatan membahasajawakan ajaran-ajaran Walmiki. Utarakanda sebagai kanda ke tujuh Ramayana ditulis pada masa itu berkat perhatian besar raja Dharmawangsa terhadap sastra-sastra yang mengandung ajaran Hindu. Kemudian Raja Erlangga menggantikan Dharmawangsa dan Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa dikarang pada masa itu. Jaman Kediri abad ke 11 dan 12 menghasilkan sejumlah karya sastra diantaranya Bharatayuddha yang ditulis oleh Empu Sedah Dan Empu Panuluh, Hariwangsa Dan Gatotkacasraya karya Empu Panuluh, Samarandhana karya Empu Dharmaja, Sumanasantaka karya Empu Triguna. Jaman Majapahit merupakan kerajaan besar dan banyak menghasilkan karya Sastra Jawa Kuna. Kegiatan bersastra pada jaman itu adalah kegiatan kebudayaan dan keagamaan terpenting yang sangat mendapat perhatian raja dan seluruh masyarakat. Setelah zaman Majapahit kehadiran Pulau Bali menjadi sangat penting dalam kesusastraan Hindu (Jawa Kuna). Bali merupakan penyelamat naskah-naskah Jawa Kuna setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Puncak perkembangan kesusastraan jawa kuna di Bali terjadi pada zaman Gelgel (Abad ke 16) yang terkenal adalah karya Danghyang Niratha yang menghasilkan banyak karya, setelah itu pengarang-pegarang Bali bermunculan.
Pemaparan berikutnya disampaikan oleh tokoh pemerhati Jawa Kuna I Ketut Sudira, BA dengan materi “ Aksara Kaganga adalah Aksara Jawa Kawi ” di sebuah Desa Dinoyo yang berada dibarat laut Kota Malang ditemukan prasasti bertarih 682 saka atau 760 M memakai Aksara Kawi Berbahasa Sanskerta. Prasasti tersebut menceritakan sebuah kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan. Penemuan prasasti ini menjadi tonggak lahirnya Aksara Jawa Kuna. Aksara tersebut terus digunakan selama kerajaan Hindu masih tegak di Pulau Jawa sampai akhirnya runtuh pada abad ke 16. Bersamaan dengan itu lahirlah aksara jawa baru yang dipengaruhi oleh Bahasa Arab bahasa Agama Islam yang muncul kemudian. Aksara jawa baru dikenalkan melalui serat ajisaka pada abas 17 dengan nama aksara Hanacaraka. Meskipun saat ini agama hindu mulai lahir, namun aksara jawa kun cenderung ditinggalkan. Dan sedapat mungkin harus dibangkitkan kembali, dan harus ada usaha-usaha untuk itu. Aksara kaganga/kawi turunan dari aksara Dewanagari. Aksara Dewanagari berjumlah 49, sedangkan aksara Kaganga berjumlah 49. Perbedaannya terletak pada aksara swara “Lo” yang dibaca “Lee” dirgha. Pasang aksara Purwa-drestha merupakan aturan penulisan bahasa jawa kuna dengan aksara Kaganga yaitu : Pasang Tegak,Pasang Pageh, pasang Jajar, Pasang Jajar Palas, aturan pemakaian cecak, Aturan pemakaian layar, aturan pasang aksara dwita. Bertuk aksara kaganga ada beberapa berbtuk yang disebut gagrak.
Pemaparan yang terakhir dari kalangan akademisi Miswanto, S.Ag M.Pd.H dengan materi “Meretas Kembali Pentradisian Sastra Jawa Kuna Dalam Masyarakat Hindu Di Era Modern” agama Hindu adalah agama yang mengajarkan Kebenaran Abadi dan Weda merupakan sumber Kebenaran Abadi. Tanpa sundaram (keindahan/seni), satyam (kebenaran), siwam (kesucian) akan gersang. Maka dari itu seni, kebenaran dan agama sangat berkaitan. Seni mampu memengaruhi perkembangan kepribadian seseorang. Pada zaman Jawa kuna hingga zaman Jawa Modern banyak seni yang bisa dimanfaatkan dalam media pendidikan dalam pembentukan karakter anak. Kesusastraan jawa melahirkan banyak cerita yang mengandung makna kehidupan. Diantaranya cerita mahabarata dan Ramayana. Bahasa jawa kuna masih ada hingga saat ini meskipun sudah tidak digunakan dalam bahasa sehari-hari. Pasca kemunduran Majapahit, Bahasa jawa Kuna mengalami kemunduran yang cukup kritis. Pada kurun waktu runtuhnya Majapahit dilakukan usaha-usaha untuk mengawetkan dilakukan. Di Bali Sastra Jawa Kuna dibaca, dipelajari, ditulis dan kemudian dilestarikan melalui kegiatan-kegiatan sosio cultural yang hingga kini terpelihara dengan baik. Meretas kembali tradisi lisan dalam kesusastraan jawa kuna melalui Lembaga Pengembangan Dharma Gita siaeluruh Indonesia. Namun selalama ini LPDG dengan kegiatannya Utsawa Dharma Gita UDG hanya mengutamakan keindahan suara, tanpa memperhatikan Ruh sastra Hindu (termasuk aksara jawa kuna didalamnya). Maka dari itu diharapkan Sastra dan Bahasa Jawa Kuna dapat dibangkitkan kembali, sehingga dalam perlombaannya peserta dapat membaca teks tidak dalam tulisan latin, tetapi dalam tulisan Jawa Kuna. Membaca Aksara sebagaimana membaca mantra harus dengar cara yang benar. Unsure Estetika dalam Kesusastraan Jawa Kuna, terdapat pada cara pembacaan dan guru lagunya agar sastra-sastra tersebut mampu dinyanyika dengan baik. Digitalisasi dalam penulisan sanskerta, seiring perkembangan zaman pemanfaatan teknologi sangan berperan penting dalam penulisan Aksara Jawa Kuna.

Minggu, 09 Agustus 2015

Kondisi Umat Hindu di kaki Gunung Raung


Gunung raung kembali menunjukan aktivitasnya. Kali ini Umat Hindu yang tinggal di kaki Gunung Raung tidak luput dari semburan abu vulkanik Gunung Raung.
Gunung Raung di Jawa Timur dinyatakan siaga. Terkait status tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau agar masyarakat di sekitar gunung Raung tetap tenang dan tidak perlu panik.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pemerintah terus mengantisipasi peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Raung yang berada di tiga wilayah kabupaten, yakni Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember.
Sejumlah kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, diguyur hujan abu vulkanik Gunung Raung, yang berketinggian 3.332 meter dari permukaan laut.
Hujan abu yang terparah berada di sekitar Pos Pengamatan Gunung Api (PPGA) Gunung Raung di Desa Sumberarum, Kecamatan Songgon.
Di Desa Sumber Arum Kec. Songgon terdapat 57 KK Umat Hindu. Desa Sumberarum biasa dikenal dengan nama Desa Sragi, di desa ini umat Hindu dan Umat islam hidup berdampingan dengan rukun. Umat Hindu di Desa Sragi ini sebagian pendatang dari bali dan sebagian lagi adalah umat Hindu Jawa asli daerah setempat.
Dikaki gung Raung terdapat banyak sekali peninggalan bersejarah Maha rsi Markandya yang sempat bertapa dan mendirikan pasraman di kaki Gunung Raung sebelum bertolak ke Bali untuk mendirikan Pura Besakih.
Data Pura terdapat di Kec. Songgon yang saat ini terkena dampak abu vulkanik dari erupsi gunung raung.
 Nama Pura
Pura
Alamat Pura
 Kecamatan
 Pengurus Pura
Pura Dewata Agung
Pura Dusun
Dsn. Sumberarum Pasar
Songgon
SAHRI


Desa Sumberarum


Pura Dharma Yanti
Pura Dusun
Dsn. Sumberagung
Songgon
JUMADI


Desa Sumberbulu


Pura Tirta Jati
Pura Dusun
Jl. Rowo Bayu Ds. Bayu
Songgon
SUPARBO
Pura Pucak Giri Raung
Pura Dusun
Dsn. Sumberasih
Songgon
KETUT SUWARKA


Ds. Sumberarum


Aktifitas warga masih berjalan seperti biasa meskipun ditemani hujan abu disepanjang hari. Masyarakat masih berkebun seperti biasa, dan anak-anak sekolah seperti biasa pula. Yang memprihatinkan warga Ds. Sragi ini sama sekali belum pernah tersentuh bantuan dari pemerintah. Padahal umat setempat sangat membutuhkan Masker, alat penutup kepala, kaca mata dan obat-obatan.
Pembimas Hindu Jawa Timur Bpk. Ida Made Windya S.Ag mendapat laporan mengenai kondisi umat yang terkena dampak erupsi gunung raung yang ada di Desa Sragri Kec. Songgon Kab. Banyuwangi. Turun langsung untuk membawakan bantuan berupa 500 masker, 50 obat tetes Mata dan 190kg beras.. Tanpa mengenal lelah demi pengabdian kepada umatnya Bpk. Ida Made Windya S.Ag memilih menyetir sendiri mobilnya dari Surabaya menuju Banyuwangi didampingi oleh salah seorang staff yang kebetulan berasal dari Banyuwangi. Tiba dilokasi sekitar pukul 16.00 disambut oleh Pengawas Pendidikan Agama Hindu Kab. Banyuwangi Bpk. Sumardi Eko Putro di Kec. Genteng. Sempat beristirahat sejenak sambil berbincang-bincang bersma Pak Katijo dan Pak Mardi yang hendak mengantarkan Bpk. Pembimas ke lokasi. Tak lama kemudian mengingat waktu sudah menunjukan pukul 16.30 rombongan langsung menuju lokasi penyerahan bantuan di Pura Dewata Agung Ds. Sumberarum Kec. Songgon. Sesampainya dilokasi Para tokoh setempat,pemangku dan beberapa ibu-ibu sudah menunggu kedatangan kami. Kedatangan kami disambut dengan hangat.  dilokasi kami berbincang-bincang dengan warga mengenai kondisi dan aktifitas warga selama erupsi gunung raung, ternyata warga setempat sama sekali belum tersentuh bantuan dari pemerintah. Padahal hujan abu terus mengguyur kawasan tersebut. Kedatangan kami membawakan Beras, Masker dan Obat mata disambut haru oleh para ibu-ibu yang mengaku sangat membutuhkan bantuan tersebut. Mereka juga mengatakan sangat membutuhkan penutup kepala dan kacamata serta obat-obatan karena aktivitas mereka yang masih berjalan seperti biasa di luar rumah sperti kesawah dan kesekolah. Semoga bantuan yang Bpk. Pembimas bawakan mampu bermanfaat bagi warga ds. Sragi (Ds. Sumberarum Red.)
Sejarah Letusan Gunung Raung
Adapun sejarah letusan Gunung Raung seperti yang dihimpun redaksi berdasar data dari PPGA Raung di Desa Sumberarum, Kecamatan Songgon, Gunung Raung meletus kali pertama tahun 1586.
Letusan pertama tercatat sebagai letusan sangat dahsyat. Di saat itu semua wilayah disekitarnya rusak dan menelan banyak korban jiwa.
Pada tahun 1597, atau sebelas tahun kemudian, Gunung Raung yang artinya suara dentuman keras itu kemudian beaktivitas lagi. Letusan kedua tak kalah hebatnya dengan letusan pertama.
Letusan dahsyat kembali mengguncang pada tahun 1638. Banjir besar dan lahar menerjang di daerah antara Kali Setail Kecamatan Sempu dan Kali Klatak Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi.
Namun letusan yang paling dahsyat terjadi di tahun 1730. Tercatat erupsi eksplosif disertai dengan hujan abu serta lahar. Bahkan wilayah terdampak erupsi meluas dibanding letusan pertama, kedua dan ketiga. Korban jiwa pun berjatuhan lagi di saat itu.
Sejarah dashyat Gunung terbesar di Pulau Jawa itu masih berlanjut. Diantara tahun 1800 hingga 1808 di waktu pemerintah Residen Malleod (Hindia Belanda) terjadi letusan lagi. Namun tidak sampai mengakibatkan korban jiwa.
Letusan demi letusan terjadi antara tahun 1812 hingga 1814. Direntang empat tahun itu letusan disertai hujan abu lebat dan suara bergemuruh. Setahun kemudian, di tahun 1815 antara 14 hingga 12 April terjadi hujan abu di Besuki, Situbondo dan Probolinggo.
Pada 44 tahun kemudian Gunung Raung relatif tenang. Aktivitas vulkaniknya kembali meningkat pada tahun 1859. Tanggal 6 Juli 1864 terdengar suara gemuruh dan di siang hari menjadi gelap.
Selanjutnya tahun 1881, 1885, 1890, 1896, terjadi aktivitas vulkanik meliputi suara gemuruh, hujan abu tipis di kawasan Banyuwangi. Dan gempa bumi di kawasan Besuki, Situbondo. 16 Februari 1902 muncul kerucut pusat.
Di tahun 1913 antara bulan Mei hingga Desember Gunung Raung kembeli bergemuruh, bahkan terjadi dentuman keras. Hal yang sama terjadi tiga tahun berturut-turut. Yakni tahun 1915, 1916 dan 1917. Aliran lava di dalam kaldera terjadi tahun 1921 dan 1924.
Fenomena vulkanik kembali ditunjukan gunung berbahaya ini tahun 1927. Letusan asap cendewan dan hujan abu sejauh 30 kilometer keluar dari puncaknya. Ditahun yang sama, tepatnya 2 Agustus-Oktober terdengar luetusan dan materi abu vulkanik terlontar sejauh 500 meter.
Di tahun berikutnya, 1928 terlihat celah merah di dasar kaldera dan mengeluarkan lava. Fenomena yang sama masih terjadi di tahun 1929. Tahun 1933 hingga 1945 hanya terjadi peningkatan aktivitas. Tidak tercatat adanya kejadian, hanya ada aliran lava di kaldera.
Gunung yang memiliki bibir kaldera seluas 1.200 meter persegi ini kembali bangun dari tidurnya. 31 Januari hingga 18 Maret, puncak gunung semburkan asap membara dengan guguran. Tinggi awan letusan mencapai 6 kilometer di atas puncak. Abunya menyebar hingga radius 200 meter.
Empat tahun kemudian, 13-19 Februari 1956 terjadi aktivitas Gunung Raung. Tercatat pula adanya tiang asap 12 kilometer. Tahun-tahun berikutnya hanya ada peningkatan aktivtas. Namun tahun 1986 letusan asap terjadi di bulan Januari hingga Maret.
Setelah sekian lama tidur panjang, aktivitas vulkanik Gunung Raung kembali meningkat pada 17 Oktober 2012. Status dari normal naik menjadi waspada selangh satu hari kemudian.
Tak berapa lama, tepatnya 22 Oktober 2012 statusnya kembali naik menjadi siaga. Sampai pada Juli 2015 ini Gunung Raung menunjukkan aktivitasnya lagi hingga lima bandara sempat ditutup akibat dampak abu vulkanik dari letusan Gunung Raung, Jawa Timur.
Bandar udara tersebut adalah Bandara Internasional Lombok, Bandara Selaparang Lombok, Bandara Notohadinegoro Jember, Bandara Blimbingsari Banyuwangi, dan Bandara Ngurah Rai Bali.

Sewaka Dharma Kepada Umat Hindu Di Kaki Gunung Raung.

Sabtu 08 Agustus 2015.

Sewaka Dharma yang di berikan oleh Pembimas Hindu Provinsi Jawa Timur pada hari Sabtu 08 Agustus 2015 bertempat di ds. Sragi Kec. Songgon Kab. Banyuwangi.
Mendengar kondisi umat yang berada di Ds. Sragi Kec. Songgon yang terkena dampak erupsi Gunung Raung, Pembimas Hindu provinsi Jawa Timur langsung Turun Tangan untuk memberi bantuan.
Sabtu Pagi sekitar Pukul 07.00 Pembimas Hindu Provinsi Jawatimur Bapak Ida Made Windya bertolak dari Surabaya menuju Banyuwangi. Setelah 9 jam menempuh perjalanan darat tibalah beliau di Kec. Genteng yang disambut oleh Pengawas Pendidikan Agama Hindu Kab. Banyuwangi  Sumardi  Eko Putro. Berbincang-bincang sebentar Robongan langsung bertolak menuju lokasi Pura Dewata Agung untuk bertemu dengan PHDI setempat dan berdiskusi  mengenai Kondisi Umat. Umat di Ds. Songgon ini sama sekali belum pernah tersentuh bantuan. Dapat dilihat dari kondisi tembok, jalanan, dan genteng yang berselibut abu tebal menandakan bahwa kawasan ini hampir setiap hari terguyur hujan abu dan kondisi ini sangat membahayakan apabila abu tersebut terhirup. Sedangkan aktivitas warga diluar rumah masih berjalan seperti biasa karena warga enggan untuk mengungsi.  Tak lama berbincang-bincang mengingat waktu sudah menunjukan Pukul 18.30 secara simbolis bapak Pembimas Hindu menyerahkan Bantuan berupa 38 Sak beras masing-masing 5kg, 500pcs Masker dan 50pcs Obat tetes kepada PHDI Kec. Songgon.
Semoga bantuan yang tidak seberapa ini mampu meringankan beban Masyarakat Koban abu vulkanik akibat erupsi Gunung Raung.