Selasa, 18 Februari 2014

Sembahyang, Mengapa?



 SEMBAHYANG, MENGAPA?
Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa, (5) Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur iman di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir (Brahma dan Yajna) termasuk ajaran sembahyang.
Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau “mebhakti” atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang artinya mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan dengan perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman dan lain-lain.
Makna lain dari sembahyang adalah sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu. Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya.

Apakah terdapat perbedaan antara sembahyang dan berdoa? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kedua hal tersebut. Sembahyang lebih bersifat formal, dilakukan di tempat tertentu (tempat yang diyakini suci seperti berbagai tempat pemujaan), namun berdoa dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dengan bahasa Sanskerta atau bahasa hati. Mengapa kita mesti berdoa, bukankah dengan sembahyang saja cukup? Jawaban yang pertama adalah kita berkewajiban untuk setiap saat ingat dan memusatkan perhatian kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci Bhagavadgìtà secara tegas menyatakan:

Manmanà bhava madbhakto
madyàjì màý namaskuru,
màm evaisyasi satyaý te
pratijàne prìyo'si me.

Bhagavadgìtà XVIII.65.


(Berpikirlah tentang Aku senantiasa, jadilah penyembah-Ku,
bersembahyang dan berdoa kepada-Ku, dengan demikian,
pasti engkau datang kepada-Ku. Aku berjanji demikian
kepadamu, karena engkau Aku sangat kasihi)

Berdasarkan kutipan wejangan suci di atas, dapatlah kita pahami bahwa sembahyang dan berdoa mesti senantiasa kita lakukan karena Tuhan Yang Maha Esa menegaskan bahwa dengan senantiasa berpikir tentang-Nya, mengingat-Nya, bersembahyang dan berdoa kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Esa akan membukakan pintu hati-Nya dan kita datang kepada-Nya. Alasan lebih jauh mengapa kita perlu berdoa adalah dalam rangka proses membiasakan diri (abhyàsa) guna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mendekatkan diri kepada-Nya dengan membiasakan diri, akan mudah dilakukan bila kita telah memiliki keikhlasan (tyàga/lascarya) dan tidak terikat terhadap obyek keduniwian (vairagya), mensyukuri karunia-Nya (santosa) dan keseimbangan lahir dan batin dalam suka dan duka (sthitàprajña). Dengan membiasakan diri berpikir tentang-Nya, berdoa kepada-Nya di setiap saat, maka melalui doa kita ini, kita akan bebas dari segala penderitaan dan pikiran-pikiran negatif yang menjerumuskan diri kita dan orang lain. Di mana nama-Nya disebutkan, di sana Tuhan Yang Maha Esa hadir dan menganugrahkan kasih dan kebahagiaan. Demikian pula memanjatkan doa, mohon keselamatan, kerahayuan dan pengampunan dapat dilaksanakan kapan saja, di mana saja dan dalam situasi apapun juga.

Manfaat Bersembahyang
Salah satu manfaat sembahyang adalah untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap sembahyang seperti asana (padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.
Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa yang ada di dalam diri dan di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita tinggalkan atau berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa penderitaan yang kita alami karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melindungi umatNya.
Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang karena orang akan dapat melihat dengan terang bahwa harta benda harus dicari dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan tekun akan dapat menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan mementingkan diri sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada semua makhluk adalah satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi. Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan sarana yang berasal dari alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya.
Persiapan Sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir seperti pakaian, bunga, dupa, sikap duduk, pengaturan nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan bathin adalah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:
Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan mandi. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra (waktu, tempat dan keadaan).
Bunga dan Kwangen, yaitu lambang kesucian sehingga diusahakan memakai bunga yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kwangen, maka dapat diganti dengan bunga. Kwangen berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum kita kepada Hyang Widhi. Kwangen juga menyimbolkan alam bhuana agung, seperti bulan, matahari dan bintang. Bentuknya yang segitiga menunjukkan apa yang kita mohon menuju pada diri kita.
Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi.
Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk sembahyang dan diusahakan beralaskan tikar dan sebagainya. Arah duduk adalah menghadap pelinggih.
Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat yaitu padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana.
Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah “cakupan kara kalih”, yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kwangen dijepit pada ujung jari.
Urutan Sembahyang
Sebelum kita masuk ke areal Pura hendaknya “melukat” terlebih dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. Bahwa umat hendaknya masuk ke Pura melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan karena harus sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.
Sebelum melaksanakan Panca Kramaning Sembah hendaknya melaksanakan Puja Trisandya. Dalam melakukan Puja Trisandya baik sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut. Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti terkejar-kejar atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.
Setelah melakukan Puja Trisandya, kita lanjutkan dengan melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang bermakna sebagai berikut:
Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.
Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bunga dan atau kwangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian hormat kepada sifat wujud-Nya dalam segala manifestasi-Nya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan anugrah.
Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmat-Nya dan mengantarkan kembali ke alam gaib.
Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini dipercikkan 3 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin.
Kemudian mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Bila dapat diusahakan beras galih, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija mengadung makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri umat.

Beberapa mantra (beserta artinya) dapat didownload pada link berikut : klik disini

1 komentar: