Kamis, 20 Februari 2014

Download Area

Berikut adalah beberapa link download dari beberapa naskah yang
telah kami publikasikan....

1. Mantram/Doa Sehari-hari  klik disini






Selasa, 18 Februari 2014

Sembahyang, Mengapa?



 SEMBAHYANG, MENGAPA?
Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa, (5) Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur iman di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir (Brahma dan Yajna) termasuk ajaran sembahyang.
Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau “mebhakti” atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang artinya mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan dengan perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman dan lain-lain.
Makna lain dari sembahyang adalah sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu. Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya.

Senin, 17 Februari 2014

Berlindung Pada Shastra



BERLINDUNG PADA SHASTRA

Para Kawi Wiku sering mengibaratkan dewa pujaannya, Shiwa, halus tak terpikirkan seperti teka-teki abadi. Sungguh mencengangkan bila kita renungkan, betapa pencarian panjang seorang kawi akhirnya menemukan Shiwa itu sebagai sebuah pertanyaan atau teka-teki, yang jawabannya tidak harus sama antara satu perenungan dengan perenungan Kawi lainnya. Dalam doa pemujaan pada awal sebuah kakawin sering terbaca doa seorang kawi agar sembah bhaktinya melalui karya sastra sampai di depan debu kaki dewa pujaannya. Kita boleh menduga barangkali doa mereka benar-benar sampai di depan debu kaki Pujaannya. Dan apa yang mereka kemudian dapatkan di depan debu kaki itu? Ternyata, sebuah teka-teki yang rumusannya mungkin seperti ini: ia yang tidak bisa dipikirkan (acintya) tapi karenaNya pikiran bisa berpikir.
Penemuan teka-teki abadi itu tentu saja tidak terjadi tiba-tiba atau mendadak. Maksudnya, sudah pasti ada banyak teka-teki lain di jagat ciptaanNya yang menggiring para Kawi sehingga akhirnya sampai pada teka-teki tentang penciptanya.
Memang seperti itulah konon rute perjalanan wisata batin mereka, dari misteri ciptaannya menuju misteri penciptanya. Dan seperti yang dapat direnungkan dari karya-karya para Kawi itu, kita sangat diyakinkan bahwa bukan jawaban teka-teki itu yang akhirnya menjadi penting, tapi ketika batin telah sampai pada teka-teki itu sendiri. Itulah misteri dari apa yang disebut sampai. Begitu sampai, tidak ada lagi tujuan, tidak lagi ada siapa yang mencari dan siapa yang dicari, tidak ada lagi pertanyaan dan jawaban, yang bertanya hilang dan jawabannya tidak ada. Itulah yang dinamakan Teka-Teki oleh para Kawi: Shiwa yang berbadankan Teka-Teki!